Selasa, 08 November 2011

Luka Oleh Laut


Di sebuah kota kecil, aku melihat seorang anak kecil yang menangis di tengah gelapnya malam. Gadis itu terus memandangi lautan yang memancarkan siluet matahari yang baru saja terbenam. Gulungan riak-riak kecil dan gelora ombak-ombak yang menyapu kakinya tak membuatnya bergeming. Hembusan hawa pantai yang dingin pun tan membuat matanya beralih dari laut. Malam itu langit tak berawan. Langit yang semakin gelap tak membuatnya kembali pulang. Nelayan yang menggantungkan hidupnya di laut turut berdatangan. Gadis itu hanya memandangi laut walaupun dia sangat membenci laut. Gadis itu membenci laut karena di sanalah kedua orang tuanya meninggal.
Kejadiannya telah berlalu beberapa bulan yang lalu...
Gadis itu mencari tahu dimana ayah dan ibunya setelah dia bangun dari tidurnya yang panjang. Di pagi yang berawan, gadis itu memanggil-manggil ayahnya dan ibunya. “Ayah... ibu... Dimana kalian?,” panggil gadis itu berulang-ulang. Tapi tak ada seorang pun yang menjawab panggilannya. Tak ada seorang pun di rumah yang kecil itu. Yang ada hanyalah suara ayam berkokok dan kicauan merdu burung. Ia terus mencari, berlari dan terus berlari mencari tahu dimana orang tuanya. Satu demi satu pintu diketok oleh gadis itu, hujaman pertanyaan yang sama dilantunkan oleh gadis kecil itu. Tapi tak ada yang tahu di mana orang tuanya berada. Hingga sampailah dia pada laut biru yang memantulkan cahaya matahari pagi. Seorang nelayan yang tengah menepi ke daratan perlahan-lahan menghampiri gadis itu.
“Kamu yang bernama Suzy?,” ucapnya kepada nelayan itu. Baju yang dikenakan nelayan itu penuh dengan darah. Entah darah siapa yang terdapat pada baju nelayan yang penuh dengan tembelan-tembelan di sana-sini itu. Mungkin darah ikan yang ditangkapnya di laut atau karena nelayan terluka. Nelayan itu menghampiri gadis itu dengan kaki terseok-seok di atas luasnya hamparan pasir pantai.
“Iya,” jawab gadis kecil yang bernama Suzy itu. Angin berhembus menerpa tubuh gadis kecil itu. Rambutanya yang tergerai melambai-lambai seperti daun-daun pohon kelapa yang terlihat berdiri kokoh di sekitar pantai.
“Ayah dan ibumu telah pergi. Jauh sekali sampai kamu tak akan melihatnya lagi. Sekelompok perampok telah mengambil nyawa mereka. Maafkan aku karena tak mampu berbuat apapun,”Seketika tubuh kecil gadis itu jatuh menghempas pasir.
Gadis itu tak mau lagi berbicara pada siapapun lagi setelah mengetahui orang tuanya telah tiada. Tiap hari gadis itu hanya menghabiskan waktunya memandangi pantai yang tak tahu dimana ujungnya. Pandangan mata kecilnya seakan hendak meyapu lautan. Beribu buih-buih di laut yang seakan ingin menghibur gadis kecil yang selalu ditemui duduk di sisi laut hanya menjadi pemandangan tanpa arti. Air mata yang terus saja jatuh di laut seakan gadis itu sedang membiarkan gelora ombak meleburkan tangisan gadis kecil itu.
“Ayah, ibu, aku akan selalu menemani kalian,” itulah yang diucapkannya setiap dia berada di tepi laut. Laut seakan marah setiap gadis kecil mengucapkan kata-kata tersebut dengan lebih menggeloran ombaknya dihadapan gadis kecil yang telah ditinggalkan orang tuanya.
Laut tempat dimana gadis itu sering menangis karena laut yang penuh dengan kehidupan itu telah mengambil orang tuanya. Buih, deru ombak, ataupun suara kicauan burung camar tak bisa mengobati luka hati gadis kecil itu. Lukanya tak reda walaupun setiap hari dia melihat begitu indahnya laut, terutama saat terlihat olehnya siluet matahari terbit dan terbenam di ujung lautan. Yang teringat olehnya adalah peristiwa yang telah dialami oleh orang tuanya di hamparan laut. Laut yang begitu indah dengan segala hal yang dimiliki, tak peduli seberapa indah laut, gadis itu terlalu membenci laut dimana orang tuanya pergi untuk selamanya.
-o_o-

0 komentar:

Posting Komentar